Minggu, 31 Agustus 2014

Taat Pada Suami

Taat Pada Suami

Kamis, 21 Agustus 2014, 20:49 WIB
Komentar : 6
Republika/Adhi Wicaksono/ca
Ketaatan seorang istri kepada suami merupakan bagian penting yang harus diperhatikan oleh seorang istri.
Ketaatan seorang istri kepada suami merupakan bagian penting yang harus diperhatikan oleh seorang istri.
Oleh: Mochammad Hisyam
Seorang lelaki datang menghampiri Rasulullah SAW. Sekonyong-konyong, Muadz, nama lelaki itu, menghampiri kaki Baginda Nabi Muhammad dan bersujud di hadapannya.

Maka, Rasulullah pun menegur Muadz. “Apa yang kau lakukan ini, wahai Muadz?” Dia lantas menjawab, “Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya) sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.”

Rasulullah SAW pun melarang Muadz. “Jangan engkau lakukan hal itu karena sungguh andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah, niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang istri tidaklah menunaikan hak Rabb-nya sampai ia menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya dalam keadaan ia berada di atas pelana (hewan tunggangan) maka ia tidak boleh menolaknya.”

Hadis yang diriwayatkan dari sahih Ibnu Majah dan sahih Ibnu Hibban dari Abdullah Ibnu Abi Auf RA tersebut menggambarkan betapa seorang istri harus taat kepada suami. Islam meninggikan kedudukan seorang suami sebagai imam sehingga istri harus patuh.

Ketaatan seorang istri kepada suami merupakan bagian penting yang harus diperhatikan oleh seorang istri. Ketaatan kepada suami menunujukkan kesalehan seorang istri. Hal ini dapat kita pahami dari firman Allah SWT yang termaktub dalam Alquran surah an-Nisa (4) ayat 34.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian, jika mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.”

Ketika seorang istri taat dan patuh kepada suaminya, akan menjadi sebab bagi sang istri mendapatkan surga. Sebaliknya, pembangkangan seorang istri terhadap suaminya akan berakibat mendapatkan laknat Allah dan di akhirat masuk neraka.

Dalam saahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah ra. ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.”

Dalam hadis lain, “Jika seorang suami mengajak istrinya berhubungan dan istri menolak, lalu suami marah kepadanya sepanjang malam, para malaikat melaknat istri itu sampai pagi.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, bisa dikatakan, bila surganya anak itu terletak pada telapak kaki (keridaan) ibu, surganya istri itu terletak pada telapak kaki (keridaan) suami. Dari Ummu Salamah ra. ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Wanita (istri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridoa kepadanya niscaya ia akan masuk surga.”(HR Tirmidzi)

Untuk itu, seorang istri yang ingin dimasukkan ke surga, hendaknya ia selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta mencari keridaan suami dengan cara taat dan patuh kepada suaminya. Ketaatan sepanjang suaminya itu tidak memerintahkan dan mengajak kepada kemaksiatan dan kemungkaran. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada khalik (Allah).” Wallahu’alam.

Allah pun Suka

Allah pun Suka

Rabu, 20 Agustus 2014, 10:00 WIB

Komentar : 0

 

Net/ca

Meminta maaf memang terkadang bukanlah perkara yang mudah, namun, bukan berarti kita tidak mampu melakukannya

Meminta maaf memang terkadang bukanlah perkara yang mudah, namun, bukan berarti kita tidak mampu melakukannya

A+ | Reset | A-

 

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung MA*

“... dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. 3:134).

 Hari Raya Idul Futri memiliki kesan tersendiri bagi setiap orang. Bagi Penulis, lebaran tahun ini begitu bermakna. Empat tahun tidak mudik ke kampung nun jauh, Patihe, Sei. Kanan, Labusel, Sumut.

Perjalanan selama tiga hari tiga malam menelusuri jalan lintas timur Sumatera. Sebagian besar masjid nan megah di berbagai kota pun disinggahi, meski sulit menemukan masjid yang bersih.

Menjadi Imam dan Khatib Shalat Ied di pinggiran tebing yang curam dikelililingi sungai yang bening. Lalu, ziarah ke kuburan kedua orang tua tercinta.

Doa disertai derai air mata kerinduan pun dipanjatkan. Kiranya mereka dikumpulkan kelak bersama para Nabi, as-Shiddiqin, asy-Syuhada wa ash-Shalihin. Amin. 

Silaturrahim menjadi misi utama perjalanan ini. Menurut Pakar Tafsir, Tuan Guru Prof Dr M Quraish Shihab, dalam buku Membumikan Al-Qur’an, silaturrahim terambil dari kata shilat dan rahim.

Shilat (washl) artinya menyambung dan menghimpun. Berarti hanya yang terputus dan terserak yang dituju kata shilat. Kata rahim pada mulanya berarti kasih sayang, kemudian berkembang menjadi peranakan (kandungan).

Biasanya, anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang. Silaturrahim berintikan rasa kasih sayang yang diwujudkan dengan pemberian atau hadiah yang tulus.

Nabi SAW. pernah berpesan : Laysa al-muwashil bil mukafi’ wa lakin al-muwashil ‘an tashil man qatha’ak. Artinya, bukanlah bersilaturrahim orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang bersilaturrahim adalah yang menyambung apa yang terputus (HR. Bukhari). Demikian pula keuntungan silaturrahim akan menambah keberkahan umur dan rezki. (HR. Bukhari).

Dalam hidup ini, Kita akan menghadapi sikap manusia yang buruk dan menyakitkan. Apalagi keburukan itu dari orang yang sepatutnya berbuat baik kepada kita atas segala kebaikan yang pernah diberikan. Air susu di balas air tuba, begitu kata pepatah.

Nabi SAW. juga pernah merasakan sakit hati yang sangat, ketika Paman tercinta Hamzah ra, disayat-sayat hatinya lalu dikunyah oleh Hindun. Beliau pun bertekad untuk membalas lebih dari perlakukan itu. Tapi Allah SWT menegurnya agar bisa bersabar (QS.16:126).

Al-Qur’an memberi petunjuk, bagaimana sepatutnya menyikapi keburukan atau kesalahan orang lain. Mereka yang mampu melakukan akan termasuk orang yang disukai oleh Allah SWT dan patut diberi ganjaran surga (QS.3:133-136). 

Dalam Tafsir Al-Misbah, M. Quraish Shihab menyebutnya sebagai kelas atau jenjang sikap manusia. Penulis rumuskan dengan empat  M. Tiga merujuk ke surah Ali Imran : 134 dan satu ke Surat an-Nuur : 22. 

Pertama, Menahan amarah (al-kazhimin al-ghaidzo). Kata al-Kadzhimin menunjukkan makna penuh dan “menutupnya dengan rapat”, seperti wadah yang penuh air lalu ditutup rapat agar tidak tumpah.

Artinya, perasaan tidak bersahabat masih memenuhi hati yang bersangkutan, pikiran masih menuntut balas. Tetapi ia tidak memperturutkan ajakan hati dan pikirannya.

Dia menahan diri sehingga tidak mencetuskan kata-kata buruk atau perilaku negatif. Orang yang tidak mampu menahan amarah (emosi), akan membayarnya lebih mahal dari tindakannya.

Kedua, Memaafkan kesalahan (al-‘aafina ‘an an-naas). Kata maaf berasal dari al-afwu yang artinya menghapus. Karena yang memaafkan akan menghapus bekas-bekas luka di hatinya. Bukanlah memaafkan jika masih ada tersisa bekas luka di dalam hati dan dendam yang membara.

Pada hakikatnya, kita diperintahkan memberi bukan meminta maaf. Memberi maaf itu tindakan terpuji, dan meminta itu terhinakan.

Karenanya, memberi maaf kepada orang yang melakukan kesalahan, sebelum ia meminta maaf adalah sikap terpuji. Bagi yang melakukan kesalahan, akuilah dengan jujur dan kembalikan apa yang pernah diambil darinya. 

Ketiga, Melapangkan dada (al-shafhu). Sikap ini lebih tinggi dari memaafkan (al-afwu). Kedua kata ini disandingkan dalam satu ayat. “Hendaklah kamu memaafkan dan melapangkan dada.” (QS.24:22). 

Al-shafhu berarti kelapangan. Dari kata ini pula muncul shafhat (lembaran atau halaman) dan mushafahat (berjabat tangan).

Dengan demikian, orang yang melakukan al-shafhu dituntut untuk melapangkan dadanya, sehingga mampu menampung segala ketersinggungan dan dapat menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru.

Keempat, Melakukan kebaikan (ihsan). Inilah tingkat tertinggi dari sika-sikap terpuji terhadap kesalahan orang lain. Bukan hanya menahan amarah, memaafkan dan melapangkan dada, namun mampu berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk.

Juga, menjalin silaturrahim dengan orang yang memutuskannya.  Kata yuhibbu (mencintai) sebanyak 18 kali dalam al-Qur’an dan lima kali ditujukan kepada al-muhsiniin (orang-orang baik). Yakni orang yang berbuat baik kepada orang bersalah atau berbuat lebih baik kepada orang yang telah berbuat baik.  

Keempat sikap terpuji di atas adalah karakteristik orang-orang bertakwa (al-muttaqin) sebagai tujuan akhir dari ibadah puasa (QS.2:183) dan seluruh ibadah dalam Islam. Oleh karena itu, sikap terpuji ini hanya mampu dilakukan oleh orang yang bertakwa kepada Allah SWT. 

Insya Allah, detak jantung akan normal, aliran darah lancar, nafas akan lega, pikiran jernih dan otot terasa rileks. Kinerja  meningkat, rezki bertambah dan umur jadi berkah. Allahu a’lam bish-shawab.

*Ketua Yayasan Dinamika Umat dan Dosen Unida Bogor

Sinyal - Sinyal Kematian

Sinyal-Sinyal Kematian

Kamis, 21 Agustus 2014, 13:10 WIB

 

Komentar : 2

 

 

 

apakabardunia.com

Kematian/ilustrasi

Kematian/ilustrasi

 

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Makmun Nawawi

Suatu hari, Iyas bin Qatadah, pemimpin Bani Tamim, melihat bulu jenggotnya sudah putih. Ia pun berucap: “Ya Allah, aku berlindung kepada Engkau dari perkara (petaka atau kematian) secara mendadak. Kulihat kematian sudah menuntutku dan aku tak bisa mengelak darinya.”


 

Kemudian, ia pun keluar menemui masyarakatnya, seraya berseru: “Wahai kaum Bani Tamim, aku sungguh sudah memberikan masa mudaku untuk kalian maka hendaknya kalian memberikan untukku di masa tuaku. Mengapa kalian tak bisa memperlihatkan kepadaku perihal krusial dan mendesaknya kebutuhan; kematian ini begitu dekat denganku.”


 

Kemudian, ia mengibaskan surbannya, menyendiri, lalu meminta izin kepada kaumnya untuk fokus beribadah kepada Rabb-nya, dan tidak melibatkan diri dalam percaturan kekuasaan, hingga meninggal.


 

Sinyal-sinyal dari kerentaan usia, yang sekaligus merupakan salah satu indikasi dari dekatnya seseorang akan kematian, kerap hadir di hadapan kita.


 

Misalnya, anak-cucu yang sudah beringsut dewasa, kulit yang sudah mengeriput, gigi yang sudah mulai tanggal satu demi satu, tulang mengalami osteoporosis yang selanjutnya mengakibatkan nyeri, menurunnya daya pendengaran, indra pengecap, dan daya ingat (memori). Demikian pula dengan tumbuhnya uban di bulu-bulu kita.


 

Melalui narasi di atas, bagaimana Iyas bin Qatadah, pemimpin Bani Tamim, begitu cerdas menangkap sinyal-sinyal kematian itu dengan hadirnya uban di jenggotnya.


 

Maka, berbahagialah kita yang tersadarkan dengan segenap fase kehidupan yang mau tidak mau mesti kita jalani, sehingga babak kehidupan kita pun berakhir dengan indah. Sebaliknya, hati-hatilah, jika semua itu sama sekali tidak menorehkan keinsyapan pada kita, sehingga “makin tua justru makin jadi”.


 

Allah berfirman: “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dia-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (ar-Rum: 54).


 

Sedang, Nabi SAW bersabda: “Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. Siapa saja yang beruban dalam Islam, walaupun sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya akan ditinggikan satu derajat.” (HR Ibnu Hibban).


 

Gemerlap jabatan dan kekuasaan (al-jah) memang acap kali meninabobokan manusia, sehingga dia bebal untuk mengingat kematian. Itulah sebabnya mengapa banyak guru spiritual mewanti-wanti agar seseorang tidak tersandung dalam jebakan ini.


 

Bahwa, kekuasaan juga merupakan wahana bagi sang hamba untuk lebih banyak beramal saleh memang benar. Tapi, banyak tokoh politik dan pemimpin terkapar di dalamnya adalah fakta yang sulit dibantah, sehingga dia terpasung dalam janji-janji muluk yang diikrarkannya sendiri dan sifat amanah pun menjadi jauh sekali.


 

Sosok Iyas bin Qatadah sebagai pemimpin, moga bisa menginspirasi para tokoh politik kita, sehingga akhir hidupnya sungguh memesona, ia sukses dalam menjalin hubungan dengan sesama dan Rabb-nya.