http://www.republika.co.id/
Jumat, 20 Juli 2012, 13:17 WIB
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Sebelum
mewajibkan puasa Ramadhan bagi kaum Muslimin tahun ke-2 hijriyah, Allah
SWT telah mensyariatkan puasa kepada para nabi terdahulu.
Menurut
Ibnu Jarir Al-Thabari, syariat puasa pertama diterima oleh Nabi Nuh AS
setelah beliau dan kaumnya diselamatkan oleh Allah SWT dari banjir
bandang. Nabi Daud AS melanjutkan tradisi puasa dengan cara sehari puasa
dan sehari berbuka.
Dalam pernyataannya Dawud AS berkata,
“Adapun hari yang aku berpuasa di dalamnya adalah untuk mengingat kaum
fakir, sedangkan hari yang aku berbuka untuk mensyukuri nikmat yang
telah dikaruniakan oleh Allah SWT.”
Pernyataan Dawud AS tersebut ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Sebaik-baiknya puasa adalah puasa Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka.” (HR. Muslim).
Nabi
Musa AS kemudian mewarisi tradisi berpuasa. Menurut para ahli tafsir,
Musa dan kaum Yahudi telah melaksanakan puasa selama 40 hari (QS. Al
Baqarah: 40). Salah satunya jatuh pada tanggal 10 bulan Muharram yang
dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atas kemenangan yang diberikan oleh
Allah SWT dari kejaran Firaun.
Puasa 10 Muharram ini dikerjakan
oleh kaum Yahudi Madinah dan Rasul SAW menegaskan umat Islam lebih
berhak berpuasa 10 Muharram dari pada kaum Yahudi karena hubungan
keagamaan memiliki kaitan yang lebih erat dibandingkan dengan hubungan
kesukuan.
Untuk membedakannya, Rasul SAW kemudian mensyariatkan
puasa sunah tanggal 9 dan 10 Muharram, selain untuk membedakan puasa
kaum Yahudi, juga ungkapan simbolik kemenangan kebenaran atas kebatilan.
Ibunda
Nabi Isa AS juga melakukan puasa yang berbeda dengan para pendahulunya,
yaitu dengan tidak berbicara kepada siapa pun. Allah SWT berfirman, “Maka
jika kamu melihat seorang manusia, katakanlah: ‘Sesungguhnya aku telah
bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Mahapemurah, maka aku tidak akan
berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini’.” (QS. Maryam: 26).
Keempat
riwayat di atas merupakan sejarah puasa agama samawi yang menjadi
rujukan disyariatkannya puasa dalam Islam. Adapun puasa agama ardhi
(agama buatan manusia), kendati sama sekali bukan rujukan namun mereka
juga telah melakukan puasa dengan model yang berbeda-beda.
Sebelum
puasa Ramadhan diwajibkan, Rasul SAW telah memerintahkan kaum Muslimin
puasa Hari Asyura tanggal 9 dan 10 Muharram. Namun begitu perintah puasa
Ramadhan tiba, puasa Asyura yang sejatinya ditambah satu hari oleh
Rasul SAW menjadi puasa sunah.
Tingginya tingkat kesulitan dalam
melaksanakan puasa menjadikan syariat ini turun belakangan setelah
perintah haji, shalat dan zakat. Wajar jika kemudian ayat-ayat tentang
puasa Ramadhan turun secara berangsung-angsur: Pertama, perintah wajib
puasa Ramadhan dengan pilihan. (QS. Al-Baqarah: 183-184).
Kaum
Muslimin boleh memilih berpuasa atau tidak berpuasa, namun mereka yang
berpuasa lebih utama dan yang tidak berpuasa diharuskan membayar fidyah.
Kedua, kewajiban berpuasa secara menyeluruh kepada kaum Muslimin,
dengan pengecualian bagi orang-orang yang sakit dan bepergian serta
manula yang tidak kuat lagi berpuasa (QS. Al-Baqarah: 185).
Awal
mulanya kaum Muslimin berpuasa sekitar 22 jam karena setelah berbuka
mereka langsung berpuasa kembali setelah shalat Isya. Namun, setelah
sahabat Umar bin Khathab mengungkapkan kejadian mempergauli istrinya
pada satu malam Ramadhan kepada Rasul SAW, turunlah QS Al Baqarah: 187
yang menegaskan halalnya hubungan suami-istri di malam Ramadhan dan
ketegasan batas waktu puasa yang dimulai dari terbitnya fajar hingga
terbenam matahari.
Inilah syariat puasa dalam Islam yang menyempurnakan tradisi puasa seluruh agama samawi yang ada sebelumnya.
Minggu, 22 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar