Kamis, 24 Maret 2011

Pemilihan Guru Idola Asik

Ditulis oleh Administrator, Radar Tegal.
Thursday, 17 March 2011
TEGAL – Pemilihan Guru Idola Asik memasuki tahap sosialisasi kepada peserta. Enam guru di Kota dan Kabupaten Tegal, Kamis (17/8) mendapatkan pengarahan serta masukan sekaligus dialog dengan perwakilan Telkomsel serta Dian Swara Production.

Lellyana Eva M dari Branch Purwokerto-Tegal Telkomsel mengatakan, dalam sosialisasi tersebut peserta mendapatkan penjelasan tentang tahapan pemilihan Guru Idola Asik. Sosialisasi dilakukan per wilayah untuk memudahkan peserta sehingga bisa menangkap apa yang akan disampaikan secara maksimal. Setelah di Tegal, sosialisasi serupa juga akan dilakukan di Pemalang pada Jumat (18/3) dan dilanjutkan di Brebes, Sabtu (19/3).

Guru Idola Asik digelar bertujuan mencari sosok guru idola untuk menumbuhkan rasa kecintaan murid kepada guru. Dengan demikian, diharapkan bisa mengangkat citra guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa sekaligus untuk memeriahkan dunia pendidikan dengan konsep acara yang berbeda. Kegiatan tersebut juga diharapkan bisa meningkatkan customer base Telkomsel dan Telkomsel School Community.

Dalam pemilihan Guru Idola Asik, ada beberapa tahpan yang harus dilalui peserta. Pertama, melakukan pendaftaran melalui Radar Tegal, seleksi administrasi, gathering Guru Idola Asik dan penayangan Guru Idola Asik di Radar Tegal. Selanjutnya, peserta melalukan kampanye guru idola, polling guru idola via kupon dan SMS serta awarding Guru Idola Asik.

Untuk Guru Idola Asik terfavorit I akan mendapatkan 1 unit sepeda motor TVS Neo. Guru terfavorit II mendapatkan uang tunai Rp 1,5 juta, kampanye terheboh mendapatkan uang tunai Rp 250 ribu, penampilan terbaik I Untukmu GIA mendapatkan uang tunai Rp 500 ribu. Untuk penampilan terbaik II Untukmu GIA mendapatkan uang tunai Rp 250 ribu, pengirim SMS terbanyak mendapatkan uang tunai Rp 300 ribu serta pengirim polling kartu pos terbanyak mendapatkan uang tunai Rp 300 ribu.

“Ada 25 guru yang akan berlomba menjadi Guru Idola Asik dengan dukungan rekan guru, siswa-siswi serta komunitas sekolah yang ada,” katanya. (gun)

Selasa, 22 Maret 2011

Guru Idola Asik Digelar

Guru Idola Asik Digelar

Radar Tegal, Sunday, 20 February 2011
TEGAL – Ajang Guru Idola Asik untuk memilih guru favorit oleh siswa-siswinya terus bergulir. Event kerjasama Radar Tegal dan Telkomsel yang memberikan hadiah utama berupa 1 unit sepeda motor TVS, uang tunai jutaan rupiah dan hadiah lainnya menjadi wadah bagi komunitas sekolah untuk memilih guru favorit.

Ari Muji Prasetyo, Spv Sales Tegal-Pemalang Telkomsel Sub Branch Tegal mengakui jika ajang Guru Idola Asik merupakan kegiatan yang banyak memiliki nilai positif. Sebagai tenaga pendidik, guru selama ini telah mencetak generasi-generasi penerus bangsa sehingga mampu meneruskan pembangunan melalui bidang keahlian masing-masing. Dengan Kartu As, komunitas pelajar di Tegal dan sekitarnya bisa membentuk School Community yang akan mendapatkan berbagai benefit. Dengan pemilihan Guru Idola Asik, program lanjutan yang akan memberikan nilai lebih bagi School Community sudah disiapkan seperti potongan harga atau diskon di sejumlah merchant, café dan sebagainya dengan menunjukkan logo Telkomsel di handphone pelanggan.

Peserta Guru Idola Asik merupakan guru SMP/SMA negeri maupun swasta di Kota dan Kabupaten Tegal, Brebes serta Pemalang. Peserta mengisi formulir pendaftaran yang ada dimuat di Radar Tegal. Untuk mendapatkan nomor pendaftaran, bisa melakukan registrasi melalui nomor Telkomsel baik itu Kartu Halo, Simpati maupun As. Caranya, ketik GIA#NAMA GURU#NAMA SEKOLAH#KOTA/KABUPATEN dan kirim ke 3938.

“Ini adalah kesempatan untuk mengapresiasikan guru favorit di sekolah masing-masing dalam pemilihan Guru Idola Asik,” katanya. Kiki Supradona, Event Organizer dari Dian Swara Production menuturkan, batas akhir pendaftaran diundur hingga akhir Februari 2011. Di bulan Maret, seluruh peserta akan dikumpulkan di Kota Tegal dan akan diberi waktu sebulan untuk mempromosikan kemampuan diri. “Untuk penjurian, akan dilakukan di bulan April 2011,” jelasnya. (gun)

Rabu, 16 Maret 2011

Kastanisasi Pendidikan RSBI/ SBI

Suara Merdeka, 16 Maret 2011

Kastanisasi Pendidikan RSBI/ SBI

  • Oleh Sumarno
KEBERADAAN sekolah unggulan berlabel rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI) kembali menuai kritik karena implementasinya jauh dari harapan publik, bahkan kental nuansa diskriminatif. Persoalan yang banyak mendapat sorotan terkait dua hal, yaitu soal pembiayaan dan kualitas. Pendanaan RSBI dan SBI paling besar bersumber dari orang tua siswa dan pemerintah pusat, sedangkan dari pemerintah daerah justru minim. Besarnya biaya yang dibebankan kepada orang tua siswa membuat RSBI/SBI hanya mengakomodasi kalangan orang kaya.

Sulitnya akses bagi anak dari masyarakat miskin masuk ke RSBI/SBI adalah wujud kastanisasi pendidikan. Kita bisa melihat alokasi pembiayaan, yaitu 50% untuk sarana dan prasarana, 20% untuk pengembangan dan kesejahteraan guru, dan 10% untuk manajemen sekolah. Di sisi lain, alokasi 20% untuk siswa miskin yang mendapatkan beasiswa tidak dipenuhi RSBI (Kompas, 10/02/11).

Dari sisi kualitas, RSBI/SBI belum menunjukkan mutu yang signifikan. Kendala utamanya adalah rendahnya kualitas guru. Seolah membenarkan dugaan publik, RSBI/SBI bermotif komersial belaka. Dengan RSBI/SBI, kepala sekolah mendapatkan tambahan penghasilan berupa tunjangan ataupun ’’keuntungan’’ atas proyek sarana dan prasarana. Guru memperoleh tambahan penghasilan dari tambahan jam mengajar yang lebih lama dari jam belajar normal seperti pada kelas reguler.

Dampak paling mencolok dari RSBI/SBI terjadi pada sekolah yang membuka kelas RSBI/ SBI sekaligus tetap membuka kelas reguler. Kelas RSBI/SBI lebih menguntungkan dan siswanya pilihan dan hal itu membuat kelas reguler terabaikan, sering terjadi jam pelajaran kosong tanpa guru. Bagaimanapun, secara makro kastanisasi itu memang terjadi.

Merevisi UU

Pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait dengan RSBI/SBI mengacu Ayat 3 Pasal 50 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Ayat tersebut mengamanatkan agar setiap daerah menyelenggarakan minimal 1 satuan pendidikan bertaraf internasional.

Padahal, implementasi dari Ayat 3 Pasal 50 dalam bentuk RSBI/SBI bertentangan dengan Ayat 1 Pasal 5 UU yang menyatakan, bahwa setiap warga negara mempunyai hak sama memperoleh pendidikan yang bermutu, dan Ayat 1 Pasal 11 yang menyebutkan layanan pendidikan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

UU Sisdiknas seolah melegalkan pengkastaan pendidikan, berarti melanggengkan sistem pendidikan zaman kolonial.
Sesuai Keputusan Raja (Belanda) 25 Sepember 1892, pendidikan rendah bagi anak-anak bumiputera dibagi dua macam. Pertama; sekolah kelas satu, yang pada 1914 menjadi Hollandsch-Inlandsche School. Sekolah untuk anak-anak tokoh masyarakat, pegawai pemerintah Hindia Belanda, dan orang-orang bumiputra terhormat lainnya. Kedua; sekolah kelas dua (De Scholen Der Tweede Klasse), untuk anak-anak bumiputera pada umumnya (Muhammad Rif’i: 2011).

Pembedaan sekolah ke dalam kelas-kelas menurut strata sosial menggambarkan soal kualitas dan biaya pendidikan. Persis dengan penekanan penggunaan Bahasa Inggris sebagai pengantar di RSBI/SBI karena pada zaman kolonial bahasa pengantar di sekolah juga dibedakan. Sekolah untuk anak-anak Belanda menggunakan Bahasa Belanda, sedangkan untuk anak-anak bumiputera di desa menggunakan bahasa daerah atau Bahasa Melayu.

Sudah 65 tahun Indonesia merdeka, menjadi negara berdaulat. Diproklamirkan dengan atas nama bangsa Indonesia. Tentu bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Tidak sepatutnya ada kebijakan negara membeda-bedakan di antara rakyatnya. Kebijakan RSBI dan SBI menabrak dua hal prinsip dalam pendidikan nasional, yaitu terkait pembiayaan dan kualitas. Dua hal itu menyimbolkan kastanisasi pendidikan. Seperti dilontarkan para pengamat pendidikan, untuk menghentikan RSBI/SBI, perlunya merevisi UU Sisdiknas.(10)

— Sumarno, Sekretaris Persatuan Guru Swasta Banten

Siswa Tak Paham Pendidikan Karakter

Suara Merdeka, 16 Maret 2011

Siswa Tak Paham Pendidikan Karakter

SEMARANG- Pendidikan karakter hingga kini dinilai belum diimplementasikan secara penuh. Masih banyak guru belum memberikan penanaman kebiasaan tentang hal mana yang baik. Akibatnya, peserta didik belum banyak yang paham perihal mana yang benar dan salah, mampu merasakan nilai yang baik, dan biasa melakukannya dalam aktivitas sehari-hari.

Hal tersebut diungkapkan Kepala Pusat Pengembangan Profesi Guru Kemdiknas Dr Unifah Rosyidi MPd dalam Seminar Nasional Pendidikan Karakter yang diadakan BEM Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP PGRI Semarang di aula lt VI kampus Jl Lontar Semarang, Sabtu (14/3).

Acara dimoderatori Sekretaris Jurusan Pendidikan Guru SD Joko Suliyanto SPd MPd. Menurutnya, di era globalisasi semacam ini pendidikan karakter menjadi amat penting diajarkan guna menepis berbagai dampak negatif yang bisa memengaruhi watak dan moral peserta didik.

Dalam hal ini, guru menjadi penentu utama. Untuk itu, diperlukan guru yang berkompeten dan mampu membaca kondisi peserta didik. Harapannya, pembelajaran mengedepankan dialogis dan selalu ada interaksi dua arah.
Meski guru berperan sentral, kata Unifah, peran keluarga dan masyarakat sekitar tak bisa diabaikan. Seluruh stakeholder harus diberdayakan agar bisa berperan aktif dalam pendidikan karakter.
“Perilaku berkarakter harus dibina dan dikuatkan dengan penanaman nilai-nilai kehidupan agar menjadi budaya,” ungkapnya.

Perihal pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan, pihaknya memberikan panduan agar diintegrasikan ke dalam kegiatan belajar-mengajar setiap mata pelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka, olahraga, karya tulis, serta pembiasaan dalam kehidupan di satuan pendidikan.
“Perlu dicatat bahwa pendidikan karakter pada dasarnya bisa dilakukan melalui pembelajaran kontekstual, pengembangan budaya sekolah, kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah atau masyarakat,” tandasnya.

di keluarga

Di sisi lain, Dosen Universitas Negeri Yogyakarta Dr Suroso MPd MTh menjelaskan, pendidikan karakter yang pertama dan utama tidak dilaksanakan dalam pendidikan formal, melainkan dalam pendidikan informal di keluarga, baru meluas ke masyarakat dan bangsa.

Pendidikan karakter, tutur dia, tidak bisa dijadikan terobosan apalagi bersifat instan atau seketika.
“Pembentukan karakter yang mantap tidak muncul hanya dilakukan di sekolah. Namun, bisa dilakukan di sekolah dengan menyosialisasikan dan melakukan karakter utama seperti solidaritas, toleransi, penghargaan, kejujuran, dan tanggung jawab dalam masyarakat multikultural yang mencintai sesama,” ujarnya.

Cara efektif membangun karakter peserta didik, menurut Suroso, di antaranya dengan mengenalkan karakter tokoh dalam kitab suci, pembelajaran dari cerita rakyat, mengenalkan para tokoh melalui biografi, belajar dari kehidupan sehari-hari warga kurang mampu, dan media massa.
Selain itu, melaksanakan pendidikan karakter sesuai konteks budaya dan memantau terus perkembangan pendidikan karakter. (H70-37)